Buku yang kita bahas pada kesempatan kali ini adalah cukup menarik dan nampaknya hal ini sangat perlu kita diskusikan tentang isi dari buku ini. Sebenarnya sudah bisa kita tebak tentang isi buku ini seperti apa dan tentang apa.
Ya, buku ini tentang kisah orang Cina-Tionghoa yang sudah hidup beberapa generasi di Indonesia dan menjadi penduduk asli Indonesia; dari ujung barat sampai ke ujung timur mereka ada, dan tersebar dengan latar belakang sejarah yang berbeda.
Tokoh-tokoh yang ada di dalam buku ini cukup menarik, kata Bu Dewi Anggraeni sewaktu diskusi di toko buku Togamas. Beliau mengatakan bahwa sebenarnya tokoh-tokoh yang ada di dalam buku ini tadinya banyak, dan sudah ia tentukan siapa saja yang akan diwawancarai, akan tetapi karena mereka banyak yang tidak bersedia menjadi responden atau actor protagonist di dalam buku ini, akhirnya hanya yang bersedia saja.
Responden lain berkomentar dengan alasan yang beragam menolak dan ada juga yang menyatakan masih trauma dengan sejarah hidup mereka. Tampaknya trauma itu ingin mereka buang jauh-jauh dalam hidupnya dan mereka kubur dalam-dalam serta berusaha untuk tidak mengingatnya kembali. Sebab hal tersebut memberikan dampak negatif bagi kehidupan mereka, kalau diungkap justru seolah mengungkit luka lama.
Akhirnya buku ini hanya memuat sejarah tujuh orang saja, ini pun pada awalnya mereka masih takut dan berusaha tertutup atas dasar etnis ke-cina-an-nya, akan tetapi setelah penulis berusaha mengadakan pendekatan emosional dengan Protagonist Actor, mereka adalah Ester Indahyani Jusuf, Linda Christanty, Susi Susati, Maria Sundah, Sias Mawarni Saputra, Jane Luyke Oey, Milana Yo Dan Meylani Yo.
Dengan cara pendekatan emosional inilah, akhirnya mereka mau bercerita tentang semuanya dan percaya penuh kepada penulis. Walaupun pada awalnya mereka menyangka bahwa penulis hanya akan mengambil keuntungan dari cerita-cerita kelam mereka dan akan dijadikan sebagai keuntungan financial sendiri.
Tentang Cina (Tionghoa-etnic) di Indonesia
Ketika kita membayangkan tentang orang china tentu yang ada dalam benak kita adalah seorang bos yang otoriter dan kejam kepada bawahannya dan orang china ini bagaikan manusia yang kejam. Mungkin kita sering mendengar ucapan “lebih baik saya menciptakan lapangan pekerjaan sendiri daripada harus bekerja kepada orang china” atau “saya tidak mau jadi boneka orang china.”
Dampak dari anggapan pribumi yang menggambarkan sosok orang china yang seperti itu membuat mereka sampai saat ini tidak bisa menjadi terbuka dengan keadaan sekitarnya, mereka lebih senang tertutup dan berbaur dengan kelompok mereka saja; contohnya di ibu kota Jakarta. Disana dapat kita temukan bagaimana cara mereka hidup dan seperi apa lingkungan mereka dalam keseharian, dan gaya rumah yang mereka tempai seperi apa serta gaya hidupnya pula.
Ethnic profiling inilah yang menyebabkan mereka (orang China) menjadi bulan-bulanan pribumi terutama pada kasus 1998 yaitu tentang kasus pelecehan seksual secara masal dan korbannya adalah permpuan keturunan Tionghoa. Inilah yang ingin penulis buku ini angkat dan membebaskan ethnic profiling yang selama ini masih membungkus pemikiran masyarakat pribumi.
Alasan yang mendasar adalah orang Tionghoa yang kini menempati Indonesia adalah statusnya sudah menjadi warga negara Indonesia dan lahir di negeri Indonesia dari beberapa generasi, kenapa hal ini masih menjadi permasalahan. Apakah karena face mereka yang tidak sama dengan face Indonesia? Atau karena pandangan pribumi terhadap orang china sebagai makhluk jahat tidak bisa dilepaskan.
Padahal semuanya anggapan tersebut bisa di tampikan, misalnya saja orang china biasanya bos, tetapi ada juga china yang miskin dan rumah juga tidak punya contohnya china Benteng. Mereka hanya kerja serabutan dan tinggal dalam lingkungan yang kumuh dan sebagainya, jadi tidak semuanya apa yang ada dalam pemikiran pribumi tidak berbanding lurus dengan kenyataan yang ada.
Jika ditanya terkait nasionalisme mereka maka hal ini bisa dibuktikan dengan prestasi Susu Susanti selaku atlit/atlet bulu tangkis, yang sering menjuarai pertandingan dan turnamen, dan menajdikannya pembulu tangkis nomor wahid. Jika kita melihat ini semua, apakah masih perlu dipertanyakan tentang ke-nasionalisme-an Susi Susanti selaku keturunan Tionghoa.
Jangan hanya hal sepele; misalnya karena keturunan China akhirnya mereka dipersulit dalam pembuatan surat-surat, entah itu KTP, SKKNRI dan lain sebagainya, dan ini kerap sekali terjadi sampai saat ini.
Penutup
Dari kisah hidup delapan orang ini (Protagonist Actor) bagaimana mereka menyembunyikan identitas mereka agar terlepas dari etnhnic profeling dan bisa hidup berbaur dengan lingkungan mereka, mungkin kita bisa merasakannya. Hidup dalam bayang-bayang ketidaknyamanan selalau melanda mereka, karena lambatlaun semuanya akan terbongkar identitas yang mereka sembunyikan dari khalayak ramai.
Atribut-atribut Negatif yang selalu mereka terima menyebabkan pandangan semua orang meyakini hal tersebut, apalagi pada masa orde baru. Disinilah mereka bagaimana memperuangkan sebuah kepercayaan publik terhadap diri mereka untuk bisa diterima oleh masyarakat umum ataupun hanya sebatas diakui oleh Negara Republik Indonesia.
Jelas sudah bahwa apa yang dipaparkan dalam buku ini adalah sebagai bentuk perjuangan dari salah seorang Dewi Anggraeni, untuk menjelaskan bagaimana etnis tionghoa yang kini sudah betul-betul dan sah menjadi warga negara indonesia, karena mereka terlahir di negri ini. Oleh karena itu jangan buat mereka dipersulit dan dipandang sebelah mata, karena mereka sama halnya dengan yang lainnya. [Zah]
Buku ini penulis bedah pada 01 Juni 2011 pada diskusi internal Jamaah Al-Faraby FIAI UII
***
Judul buku : Mereka Bilang Aku China; jalan mendaki menuju bagian bangsa
Penulis : Dewi Anggraeni*
Penerbit : Bentang, Yogyakarta
Tahun : Okt, 2010
Tebal : XV+279 hlm
Ya, buku ini tentang kisah orang Cina-Tionghoa yang sudah hidup beberapa generasi di Indonesia dan menjadi penduduk asli Indonesia; dari ujung barat sampai ke ujung timur mereka ada, dan tersebar dengan latar belakang sejarah yang berbeda.
Tokoh-tokoh yang ada di dalam buku ini cukup menarik, kata Bu Dewi Anggraeni sewaktu diskusi di toko buku Togamas. Beliau mengatakan bahwa sebenarnya tokoh-tokoh yang ada di dalam buku ini tadinya banyak, dan sudah ia tentukan siapa saja yang akan diwawancarai, akan tetapi karena mereka banyak yang tidak bersedia menjadi responden atau actor protagonist di dalam buku ini, akhirnya hanya yang bersedia saja.
Responden lain berkomentar dengan alasan yang beragam menolak dan ada juga yang menyatakan masih trauma dengan sejarah hidup mereka. Tampaknya trauma itu ingin mereka buang jauh-jauh dalam hidupnya dan mereka kubur dalam-dalam serta berusaha untuk tidak mengingatnya kembali. Sebab hal tersebut memberikan dampak negatif bagi kehidupan mereka, kalau diungkap justru seolah mengungkit luka lama.
Akhirnya buku ini hanya memuat sejarah tujuh orang saja, ini pun pada awalnya mereka masih takut dan berusaha tertutup atas dasar etnis ke-cina-an-nya, akan tetapi setelah penulis berusaha mengadakan pendekatan emosional dengan Protagonist Actor, mereka adalah Ester Indahyani Jusuf, Linda Christanty, Susi Susati, Maria Sundah, Sias Mawarni Saputra, Jane Luyke Oey, Milana Yo Dan Meylani Yo.
Dengan cara pendekatan emosional inilah, akhirnya mereka mau bercerita tentang semuanya dan percaya penuh kepada penulis. Walaupun pada awalnya mereka menyangka bahwa penulis hanya akan mengambil keuntungan dari cerita-cerita kelam mereka dan akan dijadikan sebagai keuntungan financial sendiri.
Tentang Cina (Tionghoa-etnic) di Indonesia
Ketika kita membayangkan tentang orang china tentu yang ada dalam benak kita adalah seorang bos yang otoriter dan kejam kepada bawahannya dan orang china ini bagaikan manusia yang kejam. Mungkin kita sering mendengar ucapan “lebih baik saya menciptakan lapangan pekerjaan sendiri daripada harus bekerja kepada orang china” atau “saya tidak mau jadi boneka orang china.”
Dampak dari anggapan pribumi yang menggambarkan sosok orang china yang seperti itu membuat mereka sampai saat ini tidak bisa menjadi terbuka dengan keadaan sekitarnya, mereka lebih senang tertutup dan berbaur dengan kelompok mereka saja; contohnya di ibu kota Jakarta. Disana dapat kita temukan bagaimana cara mereka hidup dan seperi apa lingkungan mereka dalam keseharian, dan gaya rumah yang mereka tempai seperi apa serta gaya hidupnya pula.
Ethnic profiling inilah yang menyebabkan mereka (orang China) menjadi bulan-bulanan pribumi terutama pada kasus 1998 yaitu tentang kasus pelecehan seksual secara masal dan korbannya adalah permpuan keturunan Tionghoa. Inilah yang ingin penulis buku ini angkat dan membebaskan ethnic profiling yang selama ini masih membungkus pemikiran masyarakat pribumi.
Alasan yang mendasar adalah orang Tionghoa yang kini menempati Indonesia adalah statusnya sudah menjadi warga negara Indonesia dan lahir di negeri Indonesia dari beberapa generasi, kenapa hal ini masih menjadi permasalahan. Apakah karena face mereka yang tidak sama dengan face Indonesia? Atau karena pandangan pribumi terhadap orang china sebagai makhluk jahat tidak bisa dilepaskan.
Padahal semuanya anggapan tersebut bisa di tampikan, misalnya saja orang china biasanya bos, tetapi ada juga china yang miskin dan rumah juga tidak punya contohnya china Benteng. Mereka hanya kerja serabutan dan tinggal dalam lingkungan yang kumuh dan sebagainya, jadi tidak semuanya apa yang ada dalam pemikiran pribumi tidak berbanding lurus dengan kenyataan yang ada.
Jika ditanya terkait nasionalisme mereka maka hal ini bisa dibuktikan dengan prestasi Susu Susanti selaku atlit/atlet bulu tangkis, yang sering menjuarai pertandingan dan turnamen, dan menajdikannya pembulu tangkis nomor wahid. Jika kita melihat ini semua, apakah masih perlu dipertanyakan tentang ke-nasionalisme-an Susi Susanti selaku keturunan Tionghoa.
Jangan hanya hal sepele; misalnya karena keturunan China akhirnya mereka dipersulit dalam pembuatan surat-surat, entah itu KTP, SKKNRI dan lain sebagainya, dan ini kerap sekali terjadi sampai saat ini.
Penutup
Dari kisah hidup delapan orang ini (Protagonist Actor) bagaimana mereka menyembunyikan identitas mereka agar terlepas dari etnhnic profeling dan bisa hidup berbaur dengan lingkungan mereka, mungkin kita bisa merasakannya. Hidup dalam bayang-bayang ketidaknyamanan selalau melanda mereka, karena lambatlaun semuanya akan terbongkar identitas yang mereka sembunyikan dari khalayak ramai.
Atribut-atribut Negatif yang selalu mereka terima menyebabkan pandangan semua orang meyakini hal tersebut, apalagi pada masa orde baru. Disinilah mereka bagaimana memperuangkan sebuah kepercayaan publik terhadap diri mereka untuk bisa diterima oleh masyarakat umum ataupun hanya sebatas diakui oleh Negara Republik Indonesia.
Jelas sudah bahwa apa yang dipaparkan dalam buku ini adalah sebagai bentuk perjuangan dari salah seorang Dewi Anggraeni, untuk menjelaskan bagaimana etnis tionghoa yang kini sudah betul-betul dan sah menjadi warga negara indonesia, karena mereka terlahir di negri ini. Oleh karena itu jangan buat mereka dipersulit dan dipandang sebelah mata, karena mereka sama halnya dengan yang lainnya. [Zah]
Buku ini penulis bedah pada 01 Juni 2011 pada diskusi internal Jamaah Al-Faraby FIAI UII
***
Judul buku : Mereka Bilang Aku China; jalan mendaki menuju bagian bangsa
Penulis : Dewi Anggraeni*
Penerbit : Bentang, Yogyakarta
Tahun : Okt, 2010
Tebal : XV+279 hlm
----------------
* Adalah Adjunct Research Associate pada School Of Political And Social Inquiry, Faculty Of Art, Monash University di Melbourne, australia. Ia juga koresponden majalah tempo di Australia dan kontributor berbagai penerbitan di Australia dan Indonesia. Ia juga penulis fiksi, dan sudah enam buku.
Tidak ada komentar: