Bingung, tak tahu harus menulis apa, dan topik apa yang harus saya tulis. Tapi yang jelas malam mini saya harus punya satu buah karya. Bagus atau jelek itu bukan ukuran keberhasilan untuk saat ini, patokannya adalah ada atau tidak. Jadi apa pun hasilnya harus diapresiasi dan disyukuri.
Baiklah, saya mulai dengan sebuah cerita ketika satu hari sebelum menjelang hari raya idul qurban. Karena ada dua versi yang merayakan, ketika hari jumat pagi saya dapat SMS dari rumah. “Untuk wilayah Nanggor dan sekitaranya, hari raya idul adha jatuh pada hari sabtu. Termasuk Kp. Pancur..” demikian bunyi sms yang Haer kirimkan.
SMS dari Haer sengaja tidak saya balas dan dibiarkan. Sms itu baru saya balas ketika esok paginya. Sekitar pukul 08.30 barulah saya kirim SMS ke Haer, itupun hanya menanyakan suasana rumah. Apakah rame atau tidak. Biasanya kalau lebaran ramai.
Meski hari sabtu banyak yang merayakan idul adha di sekitar asrama, saya tetap memilih untuk merayakannya hari minggu. Alasan saya sederhana dan itu sesuai dengan ru’yat. Dan juga, idul adha tidak dihitung dari waktu wukufnya jamaah haji di padang arafah.
Perbedaan ini sebetulnya lebih didasarkan kepada hilal. Likulli baldatin ru’yatuha… Sebagaimana yang dikatakan oleh Ali Mustofa (Imam Masjid Istiqlal) “ Suatu ketika Sahabat Rasulullah, Ibnu Abbas, mengutus sahabat lainnya, Qurayb, mengunjungi Damaskus untuk menemui Muawiyah. Disana sudah berpuasa Ramadhan.
Kemudian Qurayb berkata kepada Ibnu Abbas, disana sudah berpuasa, apakah disini juga harus berpuasa.
"Ibnu Abbas kemudian mengutip hadits Rasulullah riwayat Muslim, yang mengatakan likulli baldatin ru'yatuha," jelas Ali Mustofa. Artinya, setiap negeri memiliki ru'yatnya sendiri. Tidak bisa disamakan antara ru'yat di Makkah dengan di Indonesia. (Repbulika)
Jadi, mau kapan pun ya silakan yang penting punya sandaran dan landasan yang jelas. Jangan taklid buta dan ikut-ikutan saja.
Hari sabtu tak ada kegiatan sama sekali. Hanya bersih-bersih asrama saja, itupun pagi hari. Selebihnya dari siang hingga sore hari kosong. Selepas sholat magrib masih tidak ada kegiatan dan belum sempat makan dari pagi juga.
Selepas Isya, Yusuf menelepon dan minta ditemani untuk mengunjungi teman-teman Lembaga Dakwah Kampus (LDK) yang sedang mengadakan acara di desa binaan. Tepatnya di daerah Turgo, di bawah kaki Gunung Merapi, Yogyakarta.
Karena belum makan, maka kami menyempatkan dulu untuk mengisi perut. Selesai menyantap mie goreng dan segelas teh hangat, kami pun melanjutkan perjalanan menuju kaki gunung merapi. Kondisi jalanan yang ramai dibanjiri para jamaah masjid yang bertakbir keliling lengkap dengan megaphone dan rebana nya.
Meski suasana malam itu dingin, ditambah suasana pegunungan, maka semakin menjadi. Rasa dingin menemani perjalanan kami hingga tiba di Turgo. Malahan sedikit gerimis, untung tidak turun hujan. Kondisi jalan juga basah serta dipenuhi kabut. Kami pun hati-hati menyusuri jalanan yang naik turun.
Setelah menikmati perjalanan sekitar satu jam, barulah kami tiba. Ketika kami tiba, tampak bapak-bapak dan pemuda sedang asyik menata Masjid Al-Karim yang esok pagi akan digunakan untuk shalat idul adha. Mahasiswa LDK juga ikut membantu membersihkan dan memasang sound. Sebagian lainnya berada di dalam masjid, mereka bertakbir secara bergantian.
Setelah dirasa cukup, kami pun pamit pulang. Kalau tidak salah, waktu itu menunjukan pukul 23.00. Jalanan sudah sangat sepi, apalagi dari turgo, sudah tidak ada satupun kendaraan yang melintas. Untung kami dua motor, jadinya tidak terlalu was-was.
Malam itu kami meninggalkan kaki gunung merapi dan kembali ke keramaian kota Yogyakarta. Selamat Idul Adha 1435 H. Mohon maaf lahir dan batin.
Baiklah, saya mulai dengan sebuah cerita ketika satu hari sebelum menjelang hari raya idul qurban. Karena ada dua versi yang merayakan, ketika hari jumat pagi saya dapat SMS dari rumah. “Untuk wilayah Nanggor dan sekitaranya, hari raya idul adha jatuh pada hari sabtu. Termasuk Kp. Pancur..” demikian bunyi sms yang Haer kirimkan.
SMS dari Haer sengaja tidak saya balas dan dibiarkan. Sms itu baru saya balas ketika esok paginya. Sekitar pukul 08.30 barulah saya kirim SMS ke Haer, itupun hanya menanyakan suasana rumah. Apakah rame atau tidak. Biasanya kalau lebaran ramai.
Meski hari sabtu banyak yang merayakan idul adha di sekitar asrama, saya tetap memilih untuk merayakannya hari minggu. Alasan saya sederhana dan itu sesuai dengan ru’yat. Dan juga, idul adha tidak dihitung dari waktu wukufnya jamaah haji di padang arafah.
Perbedaan ini sebetulnya lebih didasarkan kepada hilal. Likulli baldatin ru’yatuha… Sebagaimana yang dikatakan oleh Ali Mustofa (Imam Masjid Istiqlal) “ Suatu ketika Sahabat Rasulullah, Ibnu Abbas, mengutus sahabat lainnya, Qurayb, mengunjungi Damaskus untuk menemui Muawiyah. Disana sudah berpuasa Ramadhan.
Kemudian Qurayb berkata kepada Ibnu Abbas, disana sudah berpuasa, apakah disini juga harus berpuasa.
"Ibnu Abbas kemudian mengutip hadits Rasulullah riwayat Muslim, yang mengatakan likulli baldatin ru'yatuha," jelas Ali Mustofa. Artinya, setiap negeri memiliki ru'yatnya sendiri. Tidak bisa disamakan antara ru'yat di Makkah dengan di Indonesia. (Repbulika)
Jadi, mau kapan pun ya silakan yang penting punya sandaran dan landasan yang jelas. Jangan taklid buta dan ikut-ikutan saja.
***
Hari sabtu tak ada kegiatan sama sekali. Hanya bersih-bersih asrama saja, itupun pagi hari. Selebihnya dari siang hingga sore hari kosong. Selepas sholat magrib masih tidak ada kegiatan dan belum sempat makan dari pagi juga.
Selepas Isya, Yusuf menelepon dan minta ditemani untuk mengunjungi teman-teman Lembaga Dakwah Kampus (LDK) yang sedang mengadakan acara di desa binaan. Tepatnya di daerah Turgo, di bawah kaki Gunung Merapi, Yogyakarta.
Karena belum makan, maka kami menyempatkan dulu untuk mengisi perut. Selesai menyantap mie goreng dan segelas teh hangat, kami pun melanjutkan perjalanan menuju kaki gunung merapi. Kondisi jalanan yang ramai dibanjiri para jamaah masjid yang bertakbir keliling lengkap dengan megaphone dan rebana nya.
Meski suasana malam itu dingin, ditambah suasana pegunungan, maka semakin menjadi. Rasa dingin menemani perjalanan kami hingga tiba di Turgo. Malahan sedikit gerimis, untung tidak turun hujan. Kondisi jalan juga basah serta dipenuhi kabut. Kami pun hati-hati menyusuri jalanan yang naik turun.
Setelah menikmati perjalanan sekitar satu jam, barulah kami tiba. Ketika kami tiba, tampak bapak-bapak dan pemuda sedang asyik menata Masjid Al-Karim yang esok pagi akan digunakan untuk shalat idul adha. Mahasiswa LDK juga ikut membantu membersihkan dan memasang sound. Sebagian lainnya berada di dalam masjid, mereka bertakbir secara bergantian.
Setelah dirasa cukup, kami pun pamit pulang. Kalau tidak salah, waktu itu menunjukan pukul 23.00. Jalanan sudah sangat sepi, apalagi dari turgo, sudah tidak ada satupun kendaraan yang melintas. Untung kami dua motor, jadinya tidak terlalu was-was.
Malam itu kami meninggalkan kaki gunung merapi dan kembali ke keramaian kota Yogyakarta. Selamat Idul Adha 1435 H. Mohon maaf lahir dan batin.
Tidak ada komentar: